Asal Usul Gunung Batu Bini dan
Gunung Batu Laki
Angui adalah seorang pemuda
yang cekatan dan rajin bekerja. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua
bernama Diang Ingsung.
Sewaktu kecil, Angui sering
diajak oleh ibunya mencari ikan di sungai dengan manggunakan jukung, yaitu
sejenis sampan dari kayu.
Ketika sudah dewasa, setiap
hari ia pergi mencari rotan ke hutan untuk dijual. Setelah mengumpulkan rotan,
ia membersihkan dan mengikatnya dengan sangat rapi. Kerapian dalam mengerjakan
tugas memang selalu diajarkan oleh ibunya.
Pada suatu hari, seorang
saudagar datang ke desa itu untuk mengambil rotan dan menukarkannya dengan
bahan-bahan kebutuhan pokok. Angui pun ikut menyerahkan hasil hutan yang didapatnya
untuk ditukar dengan beras, nasi, dan gula merah. Saudagar tersebut terkesan
melihat ketelatenan Angui membersihkan dan mengikat rotan-rotannya. Ia lalu
memanggil pemuda itu.
"Siapa namamu?" tanya
sang saudagar. "Angui, Tuan," jawab pemuda itu.
"Aku melihat kau sangat
rapi dan cekatan. Batang-batang rotan yang kau jual pun cukup tua dan kering.
Aku butuh orang-orang sepertimu. Apakah kau mau ikut berlayar denganku?"
ajak sang saudagar.
Angui merasa terkejut sekaligus
gembira.
"Terima kasih, Tuan! Tentu
saja saya mau, tetapi izinkan saya meminta izin kepada ibu saya"
"Pergilah, besok ku tunggu
kau di sini," kata saudagar itu.
Angui pulang ke rumah dengan
perasan gembira. Ia menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya.
"Bu, apakah aku boleh
pergi berlayar supaya kehidupan kita lebih baik lagi?" tanya Angui.
Meskipun berat, Diang Ingsung
tidak ingin menahan keinginan anaknya untuk mencari kehidupannya yang lebih
baik.
"Ibu mengizinkanmu pergi,
Nak. Namun, setelah berhasil pulanglah, Ibu pasti sangat merindukanmu,"
jawab ibunya dengan perasaan sedih.
Angui memeluk ibunya dengan
bahagia sekaligus sedih, karena harus meninggalkannya sendiri.
Keesokan paginya, Angui pamit
kepada Ibunya untuk pergi berlayar.
"Jaga diri Ibu baik-baik.
Aku titip ayam jagoku ini Bu, ia sahabatku semenjak aku kecil. Biarlah ayam ini
jadi pengingat Ibu terhadapku. Doakan aku berhasil, Bu," kata Angui.
Diang Ingsung menahan air
matanya, "Tentu, Nak. Ibu akan menjaganya:'
Angui pun pergi berlayar
bersama saudagar pemilik kapal.
Bertahun-tahun lamanya Angui
bekerja dengan baik don rajin. Saudagar itu sangat menyayangi Angui. Ia pun
menikahkan putri satu- satunya dengan Angui. Tidak berapa lama kemudian,
saudagar itu meninggal dunia. Semua hartanya diwariskan kepada putrinya dan
Angui. Dengan demikian, nasib Angui pun berubah menjadi saudagar yang kaya raya
dengan istri yang cantik.
Kemudian, Angui teringat dengan
ibunya. Ia berniat mengunjungi ibunya. Istrinya menyambut gembira ajakan
suaminya.
"Mari kita berangkat,
Bang. Aku belum pernah bertemu dengan mertuaku," kata sang istri.
Angui pun meminta anak buahnya
menyiapkan perjalanan mereka ke kampung Angui dengan menggunakan kapal yang
besar dan megah. Setelah berlayar beberapa lama, sampailah kapal besar tersebut
di pelabuhan.
Orang-orang kampung terkejut
melihat sebuah kapal besar dan megah mendarat di kampung mereka. Lebih terkejut
lagi ketika mereka melihat seorang laki-laki muda dan perempuan muda di geladak
kapal.
"Bukankah itu Angui, anak
Diang Ingsung?" kata salah seorang penduduk, "Wah ia sudah menjadi
saudagar kaya!"
"Iya betul, itu Angui,
anak Nenek Ingsung. Lebih balk aku ke rumah Nenek Ingsung dan memberitahukannya
bahwa anaknya datang!"
Beberapa orang berlarian ke
gubuk Diang Ingsung.
"Nek, Nenek Ingsung!
Cepatlah ke pantai! Angui anakmu datang! Ia sudah jadi saudagar kaya!"
Diang Ingsung yang sudah tua
renta dan sakit-sakitan bersusah payah keluar rumah.
"Apa kalian bilang? Angui
pulang?"
"Iya Nek, cepatlah ke
sana!"
Diang Ingsung merasa sangat
bahagia. Angui anak yang dirindukannya telah pulang. Ia akan menggunakan
jukung, ia yakin Angui akan segera mengenali jukung tua mereka.
"Ah, akan kubawa juga ayam
jago si Angui, ia pasti senang, karena ayam jagonya berumur panjang!"
Diang Ingsung pun mulai
mendayung jukung dengan susah payah. Ayam jago Angui diletakkan di ujung
jukung. Tubuhnya yang telah letih karena penyakit terasa lebih bersemangat,
karena sebentar lagi akan bertemu dengan anaknya.
Jukung tua itu didayung
mendekati kapal besar milik Angui. Diang Ingsung melihat sosok anaknya di
anjungan kapal. Ah, betapa tampon anaknya sekarang. Diang Inngsung merasa
sangat bahagia.
" Angui! Angui, Anakku!
Kamu datang, Nak!" teriak Diang Ingsung dengan susah payah. Sauaranya yang
serak hampir kalah oleh angin laut.
Angui terkejut melihat seorang
nenek kumal dengan jukung tua mendekati kapalnya. Ia tahu itu ibunya, tetapi
melihat keadaan ibunya yang kumal dan dengan pakaian yang kusam, ia menjadi
malu mengakuinya.
"Siapakah ibu yang memanggilmu
itu, Bang?" tanya istri Angui, Betulkah itu ibumu? Kalau iya, suruhlah
awak kapal menjemputnya naik."
Angui masih memandang nenek tua
yang sedang berusaha merapat ke kapalnya dengan masam.
"Hei, Nenek! Siapakah kau?
Mengapa kau memanggil aku anakmu? Ibuku bukan nenek-nenek miskin
sepertimu!" hardik Angui .
Diang Ingsung terkejut,
"Nak, ini betul Ibumu. Lihatlah Nak, ini jukung yang selalu kita gunakan
untuk mencari ikan dan ini ayam jago yang kau titipkan kepada ibu!""
"Dasar penipu! Tidak
mungkin seekor ayam bisa hidup selama itu! Cepat pergi dari sini!!"
"Abang, jika memang itu
ibumu, akuilah. Aku menerimanya apa adanya," kata istrinya lagi.
"Sudah kubilang ia bukan
ibuku!" Angui memerintahkan anak buah kapal mengusir ibunya.
Angui juga memerintahkan untuk
meninggalkan tempat itu. Kapal besar itu pun perlahan menjauh dari pantai.
Betapa hancur hati Diang
Ingsung. Anak yang dirindukannya kembali justru tidak mengakuinya sebagai ibu.
Air matanya berlinang.
Dengan menangis ia berdoa,
"Tuhan, anakku tidak mengakui aku lagi sebagai ibunya. Celakakanlah ia.
Biarkanlah ia menjadi batu beserta segala milik dan kekayaannya!"
Tiba-tiba, langit mendung.
Hujan turun dengan derasnya disertai badai dan petir menyambar. Kapal Angui
diterjang badai dan petir berkali-kali. Kapal besar tersebut terbelah menjadi
dua, satu bagian berisi istri dan dayang-dayangnya, satu bagian lagi Angui dan
para awak kapal. Kedua bagian yang terbelah itu pun pelan-pelan karam.
"Ibu, ampun Ibu. Aku
memang anakmu! Tolonglah aku Ibu," terdengar teriakan Angui meminta
tolong.
Diang Ingsung tidak bergeming
mendengar teriakan anaknya, ia tetap mendayung jukungnya menuju ke daratan.
Daratan kampung yang tergenang
air, lama-kelamaan surut. Ketika air surut, munculah dua belahan kapal yang sudah
membatu. Satu bagian kapal yang berisi istri Angui dan dayang-dayangnya
kemudian dinamakan Gunung Batu Bini. Sementara itu, bagian lainnya yang berisi
Angui dan anak buah kapalnya dinamakan Gunung Batu Laki.
Gunung Batu Laki ada sebuah
pohon besar yang tinggi. Konon, pohon itu berasal dari tiang layar kapal yang
mencuat setelah tenggelam. Lokasi Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki ada di
sebelah barat Pegunungan Meratus.
Pesan moral dari Cerita Rakyat
Kalsel : Gunung Batu dari Perahu yang Terbelah adalah kita harus menghormati
dan menyayangi orangtua. Mereka lah sumber kesuksesan dan kebahagiaan yang akan
kita raih.
Demikian artikel yang berjudul Cerita Rakyat Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki Kalimantan Selatan
Artikel yang sudah Anda baca berjudul Cerita Rakyat Cerita Rakyat Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki Kalimantan Selatan dengan alamat link https://www.legendaborneo.id/2019/06/cerita-rakyat-gunung-batu-bini-dan-laki.html